Kolom

Kepingan Palu Hakim Di Lingkar Industri Keuangan

Nasabah Kresna Life Datangi Kantor OJK
Nasabah Kresna Life kunjungi Kantor OJK (Foto: Ilyas Fadilah)

JakartaPemberantasan kejahatan dalam industri jasa keuangan semestinya dijalankan dengan menyinambungkan pendekatan aturan tata kelola dan aturan pidana. Sederhananya, setiap proses maupun mekanisme tata kelola sanggup menjadi pemikiran dalam tahapan pemidanaan. Begitu juga sebaliknya, proses aturan pidana (due process of law) mesti juga didasari pada rangkaian birokrasi tata kelola yang terukur, transparan, dan akuntabel (good governance). Dengan demikian, proses tata kelola tidak boleh mengesampingkan penegakan aturan pidana, dan proses pidana tidak boleh mengesampingkan mekanisme administrasi.
Secara praktis, pendekatan yang berkelanjutan dalam aturan tata kelola dan pidana tersebut terkadang disimpangi oleh pengadilan tata kelola (Pengadilan Tata Usaha Negara), dengan alasan bahwa pengadilan sanggup berpartisipasi dalam menganggap mutu pemeriksaan di bidang industri jasa keuangan. Alhasil, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang lazimnya menahan diri (self-restraint) dan cukup menganggap pada proses dan mekanisme administrasi, justru bertransformasi menjadi pengadilan yang menganggap benar salahnya sebuah kebijakan pemerintah. Padahal secara konseptual, hakim (PTUN) dihentikan duduk di atas dingklik pemerintahan (de rechter niet op de stoel van de administratie gaan zitten).
Ketukan palu hakim yang terlalu besar lengan berkuasa mengintervensi kebijakan pemerintah mempunyai pengaruh pada retaknya palu keadilan hingga pecah berkeping-keping dan membuat runtuhnya rancangan kesinambungan antara aturan tata kelola dan pidana, khususnya dalam sektor pemberantasan kejahatan di bidang industri jasa keuangan. Hal demikian sanggup terlihat dari permasalahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) vs Michael Steven. Tersangka dalam permasalahan gagal bayar PT Kresna Asset Management (KAM) terhadap nasabahnya itu menjadi buah bibir sehabis PTUN membebaskannya dari jerat hukuman tata kelola yang dijatuhkan oleh OJK.
Artikel ini secara konsentrasi menjajal untuk menerangkan kekeliruan PTUN yang membatalkan hukuman tata kelola OJK terhadap Michael Steven. Lebih lanjut, klarifikasi mengenai kekeliruan ini juga sungguh berkhasiat untuk menyingkir dari kekeliruan yang lebih besar lantaran secara mutatis mutandis proses aturan tata kelola yang menjerat Michael Steven mempunyai persentuhan erat dengan proses aturan pidana yang sedang berlangsung.

Intervensi yang Keliru

PTUN Jakarta lewat Putusan Nomor 437/G/2023/PTUN.JKT membatalkan Surat Perintah OJK (Objek Sengketa), yang menyebutkan sudah terjadi intervensi pelaksanaan aktivitas kerja keras operasional Manajer Investasi oleh Michael Steven selaku pemegang saham PT KAM. Menurut PTUN, tidak terdapat adanya korelasi aturan yang secara eksklusif pertanda keterlibatan Michael Steven dalam pengelolaan dan kepemilikan saham yang ada di PT KAM, serta upaya mengintervensi Manajer Investasi.
Pertimbangan aturan PTUN tersebut bukan cuma menganggap mekanisme maupun proses tata kelola yang dijalankan oleh OJK, melainkan juga menganggap mutu pemeriksaan yang dijalankan oleh OJK selaku Lembaga Negara Independen yang memiliki fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor Lembaga Jasa Keuangan. Padahal secara konseptual, analisa PTUN terhadap objek sengketa harusnya terbatas pada parameter normatif berupa kesesuaian peraturan perundang-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik/AUPB (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur), sehingga tidak sanggup menganggap mutu pemeriksaan oleh OJK yang ialah serangkaian langkah-langkah dalam lapangan aturan pidana.
Memang, pada dasarnya,PTUN mempunyai metode pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijs stelsel) dalam rangka mencari kebenaran materiil. Artinya, apakah sebuah keputusan/tindakan pejabat tata kelola yang bersifat publik memang benar didasari pada paraturan-perundang-undangan dan AUPB. Namun, dalam konteks kendala OJK vs Michael Steven, akan sungguh tidak mungkin untuk mendapatkan kebenaran materiil, mengingat Penggugat (Michael Steven) tidak pernah mengajukan alat bukti yang bersifat real evidence menyerupai saksi, maupun ahli. Bahkan, Prinsipal dalam hal ini Michael Steven yang sudah menyandang status tersangka –dalam permasalahan gagal bayar Kresna Sekuritas– tidak pernah dihadirkan oleh Kuasanya. Padahal, salah satu alat bukti yang sanggup mengarahkan terhadap kebenaran materiil yakni ratifikasi para pihak maupun alat bukti yang bersifat direct evidence.
Sebaliknya, OJK yang ialah pihak Tergugat justru mendatangkan banyak sekali saksi dan jago dalam rangka menerangkan puzzle dokumen penyidikan, menyerupai Berita Acara Pemeriksaan (BAP), lantaran memang pelaku kejahatan tindak kriminal senantiasa berupaya untuk menyingkirkan bukti-bukti yang sanggup menjeratnya.
Sementara itu, dalam konteks aturan perdata maupun tata kelola pemerintahan, dokumen tertulis ialah alat bukti yang utama, alasannya yakni para pihak memang dengan sengaja sejak permulaan menghasilkan dokumen tersebut dalam rangka pembuktian, itulah mengapa sungguh tidak mungkin didapatkan bukti yang secara eksklusif mengarahkan Michael Steven melakukan intervensi dalam tindak kriminal lingkar industri jasa keuangan.
Alhasil, dari serangkaian proses beracara di atas, PTUN pada balasannya tidak dapat mengetahui rangkaian dari puzzle penyidikan tersebut, alasannya yakni memang PTUN di satu segi tak mempunyai kompetensi untuk menganggap kebenaran materiil dalam lingkup proses pidana. Sementara di lain sisi, rancangan pembuktian bebas yang dimiliki oleh Majelis Hakim PTUN tidak digunakan secara proporsional. Sehingga mudah dipahami, kalau terdapat kekeliruan putusan yang dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa tidak ditemukannya bukti yang secara eksklusif mejelaskan keterlibatan Michael Steven dalam melakukan intervensi terhadap Manajer Investasi PT KAM, lantaran memang ternyata yang melakukan intervensi yakni PTUN Jakarta terhadap proses penyidikan OJK dalam lingkar industri jasa keuangan.

Administrasi vs Pidana

Mengapa sanggup dibilang PTUN Jakarta sudah melakukan intervensi atau lompat pagar dari kewenangan administrasinya dalam permasalahan ini? Karena menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIX/2021, eksistensi OJK disamping memiliki fungsi kendali atas aktivitas tata kelola di sektor jasa keuangan, juga memiliki fungsi penyidikan dan dianggap selaku penegak aturan (pro justitia) di dalam metode peradilan pidana, sehingga lazimnya berlaku ketentuan Pasal 2 karakter d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat aturan pidana mesti dikecualikan dari objek sengketa PTUN.
Lebih lanjut, implikasi dari Putusan PTUN Jakarta yang membatalkan objek sengketa tersebut, maka terjadilah antinomi dalam penegakan aturan pidana dan tata kelola pada bidang industri jasa keuangan. Di satu sisi, objek sengketa menampung hukuman yang dibarengi dengan upaya paksa berupa bahaya pidana, lantaran memang sejak permulaan hukuman OJK tersebut bersifat imperatif. Artinya, apabila hukuman tata kelola tersebut tidak dijalankan, maka berlakulah instrumen aturan pidana, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 53 Undang-Undang OJK misalnya, yang menyebutkan bahwa bagi pihak-pihak yang sengaja mengabaikan/tidak menyanggupi atau menghalangi pelaksanaan kewenangan OJK –dalam permasalahan ini surat perintah– maka sanggup dipidana.
Sedangkan di lain sisi, penghapusan objek sengketa oleh PTUN Jakarta tersebut secara tidak eksklusif juga sudah menutup proses pidana tata kelola (administrative penal law), sehingga satu-satunya pintu yang masih tersisa bagi para pelanggan dalam sektor industri jasa keuangan untuk mencari keadilan yakni dengan lewat instrumen aturan pidana. Namun, pertanyaan berikutnya yakni bagaimana cara menegakkan proses aturan pidana tersebut kalau Michael Steven –yang sudah menjadi tersangka dalam permasalahan lain– justru hingga di saat ini tidak dimengerti keberadaannya, alias buron?
Mengakhiri goresan pena ini, cukup kiranya kita merenungkan apakah penegakan aturan pidana dan tata kelola di Indonesia di saat ini sudah menjadi penyelesaian dan saling melengkapi (interdependensi), atau justru penegakan aturan pidana dan tata kelola di saat ini cuma melahirkan teladan negasi dan pertentangan terhadap kebenaran materiil.

Alif Fachrul Rachman Associate at INTEGRITY LAW FIRM

ojkptun jakartamichael stevenkresna life gagal bayarLoading...Hoegeng Awards 2025Baca dongeng inspiratif calon polisi teladan di siniSelengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *