Berita Ekonomi Bisnis

Perlukah Pemerintah Ubah Subsidi Krl Jadi Berbasis Nik?

Penumpang naik kereta commuter line di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin (6/10/2014). Pemerintah mengoptimalkan tarif dasar tiket kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Namun, harga tiket yang dibayar penduduk  tidak naik. pemerintah memperbesar  budget subsidi atau Public Service Obligation (PSO) untuk KRL Jabodetabek.
Foto: Agung Pambudhy

Jakarta

Pemerintah bertujuan merubah versi derma subsidi KRL menjadi berbasis NIK. Hal ini terungkap dalam dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bahkan menyatakan ada kajian peningkatan tarif KRL Jabodetabek Rp 1.000.

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menerangkan planning pergantian versi derma subsidi KRL ini sesungguhnya sudah ada sejak 2018. Tentunya dengan tujuan agar derma subsidi ini sanggup sempurna sasaran.

Menurutnya planning pergantian versi derma subsidi ini menjadi penting bagi dilakukan, mengingat pemerintah sudah banyak menggelontorkan budget buat memangkas ongkos transportasi yang banyak digunakan para pekerja ini.

“Tentunya mesti dipilah-pilah juga (penerima subsidi) mengingat kota Jakarta dan Bodetabek itu sungguh tinggi subsidinya. Itu Rp 1,6 triliun, sementara daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) hanya Rp 200 miliar tak sampai. Padahal mereka itu penghasil tambang, mineral, dan sebagainya lah. Itu subsidi nggak ada, sementara Jakarta penghabis anggaran,” kata Djoko terhadap , ditulis Jumat (13/9/2024).

Meski begitu, menurut Djoko sesungguhnya planning pergantian derma subsidi KRL menjadi berbasis NIK ini belum cukup mendesak buat dilaksanakan langsung. Alih-alih merubah versi subsidi, ia beropini sebaiknya pemerintah konsentrasi dalam membangun fasilitas dan prasarana penghubung antara stasiun KRL ke daerah-daerah permukiman warga.

Sebab menurutnya, tanpa infrastruktur penghubung antara stasiun dengan kawasan perumahan ini, ongkos yang perlu dikeluarkan penduduk untuk bepergian akan tetap mahal. Khususnya saat pergi dari rumah menuju stasiun KRL atau sebaliknya.

“Yang mesti dicermati yakni bagaimana kepala kawasan Jabodetabek itu agar sungguh-sungguh mereka memperlihatkan layanan transportasi dari kawasan perumahan. Karena pernah ada studi 2014, waktu itu KRL telah murah ya, ternyata ongkos pengeluarannya pengguna KRL tuh masih tinggi, masih di atas 30%,” terangnya.

“Artinya transportasi penghubung ini mesti tertuntaskan yang masalahnya bukan di KRL-nya. Mau digratiskan pun KRL-nya nanti dari rumah ia ke stasiun masih mahal, ya tetap saja tinggi kan (biaya transportasi). Kaprikornus isunya perlu kalian geser untuk membangun transportasi lazim dari kawasan perumahan, agar sanggup terintegrasi,” sambung Djoko

Baca juga: Kemenhub Sebut Ada Kajian Tarif KRL Jabodetabek Naik Rp 1.000

Sementara itu, Pengamat Transportasi Deddy Herlambang beropini sebaiknya pemerintah tidak perlu merubah metode derma subsidi KRL menjadi berbasis NIK alasannya yakni sejumlah alasan.

Deddy menerangkan belahan tarif yang diterima pengguna KRL ketika ini bukanlah subsidi melainkan PSO (Public Service Obligation). Berbeda dengan subsidi, menurutnya PSO ini diberikan rata bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan. Sebab ini ialah keharusan untuk pemerintah buat dibayarkan bagi mengembangkan pelayanan publik.

“Pertama subsidi dan PSO itu berbeda. PSO, itu yakni segi tarif yg ialah keharusan pemerintah bayarkan terhadap masyarakat, itu keharusan pemerintah. Kaprikornus segi tarif KRL ketika ini yakni PSO, bukan subsidi. Kaprikornus PSO ini sifatnya yakni insentif, bukan subsidi,” terang Deddy.

“Biaya perjalanan KRL itu kurang lebihnya Rp 25 ribu per 25 kilometer. Nah kini ini 25 kilometer pertama itu Rp 3 ribu, jadi pemerintah berkewajiban segi tarif atau PSO atau yg orang bilang itu subsidi sebesar Rp 22 ribu, cukup besar. Makanya pemerintah sebut ini terlalu besar, namun itu bukan persoalan, itu keharusan pemerintah,” terangnya lagi.

Oleh alasannya yakni itu menurutnya semua pengguna KRL mesti memperoleh besaran ‘subsidi’ yang serupa dari pemerintah. Terlebih mengingat pelayanan KRL ketika ini cuma ada satu kelas yakni ekonomi. Beda halnya kalau KRL ini memiliki dua kelas menyerupai kereta jarak jauh ataupun layanan KRL ekspres sebelum dihapuskan pada 2011 lalu.

“Diksi, yg namanya diksi saja transportasi umum, public transport, transportasi umum, sebaiknya biayanya juga lazim seluruhnya sama tak ada pembedaan tarif. Karena kereta KRL kita ini sesuatu kelas, satu kelas ekonomi,” ucap Deddy.

“Berbeda dengan zaman dahulu. Zaman lalu ada kereta KRL ekspres yakni Pakuan ekspres, Bojong ekspres, Serpong ekspres, Menteng ekspres, dahulu juga ada kereta ekonomi non-ac, ada yang AC, itu segala biayanya beda, nggak duduk kendala alasannya yakni pelayanannya beda. Kita kini ini satu kelas pelayanan, jadi pelayanan KRL sesuatu kelas sama. Seharusnya biayanya juga sama tidak ada pembedaan,” tegasnya lagi.

subsidi krlniktransportasi publikanggaran pemerintahtarif krl naik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *